Label

Senin, 07 Desember 2009

Me, My Vincent and Our Journey

“ Aku capek, Vi”

“Rasa-rasanya setiap orang akan lebih bahagia tanpa aku.”

“Tanpa kehadiranku di sisi mereka, tanpa ada aku yang menyusahkan mereka.”

“Aku capek karna selalu membuat susah guruku.”

“Aku capek menyakiti orang-orang yang kusayangi, menyakiti kamu, orangtuaku, sahabat-sahabatku”

Dan kau hanya tersenyum mendengarkan penuh perhatian.

Vincentku yang tersayang, yang kusayangi melebihi rasa cintaku pada diriku sendiri.

Vincent yang bagiku adalah mentari yang selalu menemani perjalanan si bintang.

Vincent yang selalu memahamiku, membantuku meski ia sendiri lelah.

Vincentku yang berharga, yang tanpanya aku hilang esensi seperti uap air, getasnya kayu , mengering dan terlupakan.

Abel sepupuku tersayang, begitu kau selalu memanggilku.


**


“Aku ingin pergi, Vi.”

“Pergi jauh dari mereka semua, dari orang-orang yang selama ini kusayangi, tapi kemudian kusakiti dan mereka pun menyakiti aku.”

“Setengah diriku ingin melarikan diri dan setengahnya lagi ingin bertarung hingga usai.”

“Aku capek menyayangi orang-orang yang kupercaya kemudian tega menusukku.”

“Aku capek menyayangi orang-orang yang salah.”

“Aku capek kehilangan. Sudah cukup semua ini bagiku.”

Dan kau pun masih mendengarkan dengan penuh pengertian.

Vincentku, adalah satu-satunya orang yang mempercayaiku ketika satu bumi menafikan kata-kataku.

Kau-lah satu-satunya yang berdiri membelaku ketika semua orang mempertanyakan integritasku sebagai hamba.

Kau-lah satu-satunya yang yakin bahwa aku baik-baik saja dan selalu akan begitu.

Kau-lah mentari yang tak pernah lelah menyinari ketika si bintang mulai redup.

Abel sepupuku tersayang, begitu kau memanggilku.


***


“Aku lelah.”

“Aku berharap, suatu saat nanti akan muncul kebahagiaan bagi semua orang.”

“Dengan begitu aku akan tenang meninggalkan semuanya.”

“Suatu saat aku akan pergi dan tak akan pernah kembali lagi ke sini, ke tempat ini.”

Kau masih mendengarkanku dengan penuh kesabaran.

Di meja makan saksi bisu percakapan ini.

Ditemani kombinasi penganan kecil yang hanya bisa ditemukan di rumahmu.

Ditemani bintang gemintang kesayanganku.

Ditemani udara bercampur bau laut kesukaan kita.

Ditemani senyap kala yang lain tenggelam dalam lelap.

Abel sepupuku tersayang, begitu kau memanggilku.


****


“Abel, sepupuku tersayang”

“Biarkanlah mereka bicara, biarkanlah mereka menduga, biarkanlah mereka berprasangka dan biarkanlah mereka menganalisa.”

“Bagiku kau adalah kau. Kau yang berusaha teguh dalam perjalanan ini.”

“Tak pernah terpikir olehku bahwa kau akan melarikan diri dari pertarungan ini. Sedikitpun aku tak pernah meragukanmu dan begitulah dirimu.”

“Abel, sepupuku tersayang.”

“Apalah artinya perbedaan diantara kita?? apalah artinya kau A dan aku B??
apalah artinya bila kau ‘fight’ dan aku ‘peace’??”

“Bila yang terpenting adalah kebersamaan ini. Bila yang terpenting bagiku adalah keberadaanmu dan begitu pula sebaliknya.”

“Abel, sepupuku tersayang.”

“Bukan aku yang “menyeretmu” ke dalam jalan ini. Tapi pilihanmulah. Pilihanmu saat itu yang membawamu hingga pada masa ini. Pilihan yang kau ambil setelah berjalan terseok-seok, hilang arah dan kendali. Pilihan yang kau ambil dengan sadar. Sadar akan konsekuensinya kini.”

“Abel, sepupuku tersayang.”

“Aku tahu betapa bencinya kau pada yang telah berlalu itu. Betapa gemerlapnya hidup di zaman itu. Aku tahu kau tak pernah ingin kembali lagi pada masa itu. Meski untuk berada di jalanmu yang sekarang kau harus mengorbankan banyak hal. Begitu banyak, hingga kau tak bisa menghitungnya.“

“Abel, sepupuku tersayang.”

“Mengapa kau berpikir akan memulai perjalananmu sendiri??
Mengapa kau harus meninggalkan semua??
Mengapa kau mau menjalani itu semua dalam sepi??”

“Telah lupakah kau??
Bahwa aku lah yang akan menemani perjalananmu.
Lupakah kau pada Vincent-mu ini??
Lupakah kau betapa ku menyayangimu??
Lupakah??”

“Untuk apa menyiksa dirimu sendiri?? Aku mengenalmu. Jauh lebih mengenalmu daripada semua orang-orang itu. Untuk apa menyakiti dirimu sendiri?? Kau toh tak akan pernah bisa hidup tanpa orang-orang yang kau sayangi.”

“Marilah kita mulai bersama perjalanan ini. Perjalanan yang akan membuat kita tertegun dan kemudian tertawa kembali. Takjub akan rencana Illahi Rabbi.”

Dan aku pun tersenyum. Senyum paling indah bagi anugerah Allah di hadapanku.


*adapted from real story

>> catatan kecil ini ditulis dan diiringi dengan air mata. persembahan bagi orang-orang hebat di sekeliling kita karna setiap orang pasti memiliki orang-orang yang berpengaruh bagi kehidupannya. Orang-orang hebat yang selalu mendampingi perjalanan mengubah dunia tempat kita berdiri. Perjalanan yang penuh onak dan duri demi tegaknya peradaban kedua,
Khilafah alaa minhajin nubuwwah..

Bella Burhani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Media Islam Online's Fan Box

Media Islam Online on Facebook